Humanist fotografi. Bukan hanya visual yang selalu mendramatisir keadaan dan mengangkat tema kesedihan .

          Ada banyak sekali foto-foto di situs fotografi,atau di berbagai website yang menampilkan foto sisi kemanusiaan, baik tentang ketertarikan manusia, hingga beberapa hal yang tak lazim di lakukan manusia pada umumnya, ya foto –foto humanist atau yang sering di kenal dengan sebutan human interest photograpahy.Memang humanist photography tak cukup banyak penggemarnya karena kalah rating dengan foto-foto “model” yang cantik dan sexy,namu bagi pemula fotografi seperti saya memotret manusia (tidak harus muda dan cantik)itu memiliki tantangan sendiri.

    Human interest photography bisa di katakan dalam golongan foto documenter. kita merekam kejadian atau moment dimana kejadian itu tidak di rencanakan dan di potret secara diam-diam(candid) namun penuh pendekatan.Human interest juga tidak menekankan kita untuk memotret seseorang yang tampil cantik,mulus dan sexy,karena human interest sendiri adalah foto tentang kemanusiaan,biasanya yang sering di potret dan masuk dalam kategori human interst adalah foto portrait seorang ibu,nenek dan kakek atau juga expresi anak anak kecil dan sebagainya.mungkin di situ letak tantangan dan perbedaan antara human interest dengan foto model cantik.

    Dalam perkembangannya foto humanist sangat lah sering menjadi jawara dalam perlombaan-perlombaan besar yang bertemakan apapun,ntah karena foto itu memang bagus,atau karena selera juri yang terkesan flat, karena sering di suguhkan dengan jawara-jawara foto kemanusiaan,yang lebih di sayangkan foto humanist yang menang sering kali,adalah foto yang menampilkan tentang kesedihan,kemiskinan dan berbagai hal tentang keterpurukan di negeri ini.tidak hanya itu foto human interest pun sering di kaitkan dengan judul yang terlalu mendramatisir suatu kejadian,contoh nya saja,ketika ada foto potret seorang ibu tua jalan di jalanan kosong,bisa di katakana 90 %judul dari foto itu pasti tidak jauh dari mendramatisir keadaan,missal judulnya:jalan untuk nafas kehidupan,renta berjalan sendiri,dan sebagainya (silahkan bernostalgia dengan judul foto kemanusiaan yang pernah anda baca).Padahal belum tentu ke adaan si ibu tua tadi se dramatis judul foto itu,lalu sering kali kita melihat foto-foto kemanusiaan yang terkadang bersifat kesedihan,misalnya saja foto tentang nenek tua dengan raut muka lelah , alu di foto.

      Mengapa selalu kesedihan?mengapa selalu mendramtisir keadaan?ya memang tidak ada salahnya dengan itu,namun bila kita tinjau lebih dalam,kita sebagai pelaku fotografi bisa jadi mengesankan gambaran negri ini terlalu suram.masyrakat kaum bawah terkesan selalu tertindas,memang benar mereka sering tertindas dan kehidupan mereka kurang nyaman,namun apa harus kita memvisualkan nya dengan gaya foto kesedihan juga?belum tentu di dalam kesulitan itu mereka selalu bersedih,bisa saja malah mereka senang dan bahagia,karena satu hal.keluarga mereka utuh mungkin?atau lain sebagainya.

      Tak munafik juga kalau saya pun pernah memotret foto kemanusiaan yang terkesan menampilkan kesedihan namun kesedihan disini,memang lah keadaan yang sebenarnya bukan keadaan yang terlalu di buat-buat.Mengapa kita tidak pernah terfikir untuk memotret keceriaan orang-orang pinggiran saat di foto,bukan kah itu human interest juga?ya humant interst humant interest yang berbeda dan tak umum pastinya, saya yakin pasti akan lebih menarik ketika itu di visualkan secara baik oleh si pelaku fotografi/fotografer. Disini saya bukan lah orang yang ahli dan tau banyak tentang dunia fotografi,karena umur dan pengalaman saya masih lah terlalu muda,namun saya hanya mencoba mengenggukapkan pendapat tentang pandangan tema fotografi yang paling saya sukai ini. Semoga tulisan ini bisa menjadi pandangan kita terhadap cara kita menvisualkan suatu keadaan dengan se jujur-jujurnya,tanpa rekayasa, tanpa mendramtisir keadaan dan tidak selalu menampilkan kesedihan.

Fotografi Sebagai Sebuah Trend yang Menjatuhkan Fotografi itu Sendiri.

 Oleh :Christian dwiky

        Sebelum kita membaca tulisan ini ada baiknya kita menempatkan diri,sebagai siapa kita di dalam tulisan ini,sebuah tulisan yang saya tulis walau masih berantakan,berdasarkan pengalaman pribadi ,beberapa hal yang saya lihat di lingkungan sekitar, dan pandangan saya sebagai seorang yang menggap fotografi itu sebgai hidup.  

      Hidup Fotografi di Indonesia,sudah 1 abad lebih fotografi di Indonesia menempatkan posisinya,banyak hal yang terlihat mengalami perkembangan di dunia fotografi baik dari kemajuan teknologinya,hingga ke pelaku-pelaku dari fotografi itu sendiri.seperti yang kita ketahui perkembangan dunia fotografi sangat pesat,terhitung dari lonjakan yang terjadi dari penjualan kamera selama 1 tahun terakhir di tahun 2010.

     Dahulu awal mula saya mengenal fotografi sekitar tahun 2007 awal,masih sangat sedikit saya menjumpai anak seumuran saya yang hoby nya memotret,jangan kan yang hoby nya memotret,melihat kamera sejenis SLR saja saya merasa tabu,karena mungkin pada masa itu tak banyak yang memiliki.Saya sendiri memulai fotografi hanya menggunakan kamera hanpone dan juga kamera tustel film yang sudah tak terpakai.Dahulu saya menggangap setiap orang yang saya lihat memegang kamera nya di saat ada sebuah kejadian,atau moment atau lain sebagainya(kecuali dokumentasi keluarga)saya menggangap orang itu sebagai seorang fotografer,ya memang terlihat konyol anggapkan saya,namun bukan berarti salah, karena pada zaman itu profesi sebagai fotografer sangat lah di pandang,dan bukan profesi yang “kacangan”.mengapa begitu?karena di samping harga kamera SLR mahal,fotografi juga tak terlalu banyak di lirik,hanya kalangan elit dan professional fotografer lah yang menyukai fotografi yang notabene hoby yang tidak murah,kenapa tidak murah?karena banyak orang yang beranggapan itu hoby tak menguntungkan dan buang-buang uang saja,karena harus membeli asesories kamera dan lainya untuk keperluan berfotografi.

         Untung nya anggapan orang tentang fotografi itu saya tepis jauh-jauh,memotret dan memotret,walau hanya dengan kamera hanpone dan tustel seadanya,namun saya tidak malu dan terus belajar,walau pandangan orang terhadap saya yang hobynya memotret sangat rancu,tapi saya tak pernah perduli dengan omongan orang,tak selang beberapa tahun ketika saya sudah memiliki kamera DSLR, ,kamera DSLR atau pun SLR masih tetap di anggap tabu bagi orang awam yang melihatnya,jangan kan orang awam,saya sendiri yang di saat itu sudah punya,malu untuk mengelurkan kamera DSLR saya karena takut saya di anggap sebagai seorang fotografer,kenapa saya takut?ya jawabnya sudah jelas karena profesi sebagai seorang fotografer itu bukan lah profesi kacangan.

      Seiring berjalannya waktu,saya tidak malu lagi untuk mengelurkan kamera (bukan di tenteng kemana-mana) di saat ada peristiwa,atau acara ataupun sekedar mencoba-coba fitur yang ada di kamera saya.memotret sana sini dan mengikuti perlombaan fotografi menghantarkan saya sebagai juara 1 sebanyak dua kali. Rasa senang tak bisa saya bendung,dari hasil menang lomba saya mencoba membeli satu per satu peralatan fotografi.terus memotret dan terus berkarya, ya seperti nya saya sudah menemukan siapa jati diri saya sesungguhnya. Hingga pada saat lulus dari SMA, saya memutuskan untuk melanjutkan study jurusan fotografi, di institut seni Indonesia Yogyakarta.

    seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi kamera sejenis DSLR dan sebagainya, memiliki harga yang cukup ekonomis bagi kalangan menengah ke atas (tapi menurut saya tetap saja mahal) produksi kamera DSLR kian melesat. Terus menerus makin banyak orang-orang memiliki kamera DSLR, baik untuk mencoba-coba belajar fotografi, hingga dokumentasi keluarga, atau keperluan lainya.
Bagaikan roket, fotografi dan penggunaaanya melejit sangat cepat, terhitung angka penjulan dari tahun 2009 ke 2010 mengalami lonjakan yang cukup tinggi, lama kelamaan anak muda yang tadinya malas untuk mengenal fotografi, menjadi tertarik dan ingin mencoba.Hingga ntah dari mana asal mulanya, fotografi dan kamera DSLR di jadikan trend dan asesories untuk para remaja agar terlihat gaul dan tampak mengikuti perkembagan zaman agar tak ingin terlihat gaptek(gagap teknologi).

       semakin tinggi angka peminat fotografi namun saya rasa derajat fotografi dan profesi sebagai fotografer semakin rendah, semua memotret, semua menggangap dirinya fotografer, dengan bermodal kamera DSLR, banyak kalangan tertentu laki-laki khusunya,menjadikan fotografi sebagai media untuk berkenalan dengan model-model cantik,bukan hanya itu.mereka anak muda yang terhitung jiwannya masih labil turut serta membahasakan dirinya sebagai seorang fotografer, dengan menenteng kamera kemana-mana. ya memang itu tidak ada salahnya, toh itu hak mereka dan itu punya mereka, tapi apa harus kamera DSLR itu menjadi asesories untuk bergaya agar terlihat gaul dan trendi? Tidak kah mereka berfikir kalau harga kamera yang mereka tenteng itu sesungguhnya bukan lah harga yang murah bagi kalangan tertentu yang ter marjinalkan.

      mau di bawa kemana perkembangan dunia fotografi jika fotografi sudah tidak lagi di anggap sebuah hal yang sulit dan spesial. lantas apa masih ada derajat untuk seorang fotografer yang sesungguhnya?saya rasa tidak,kalau fotografi masih terus di jadikan media untuk terlihat trendy.Memang secara kasat mata fotografi sedang mengalami perkembangan yang luar biasa pesatnya, namun di sisi lain apabila kita berfikir lebih jauh, nantinya fotografi hanya lah sebatas memotret yang di lakukan seorang “fotografer” rendahan dan menghasilkan sebuah foto perempuan atau apalah tanpa tahu apa maksud dari fotografi itu sendiri.



Christian dwiky sirait,Yogyakarta, 6 maret 2011.